Kamis, 07 September 2017

Konspirasi Manajemen PT. Freeport Indonesia Terhadap Nasib Buruh

User Waktu Tag
Tidak ada komentar
*Oleh: Jekson Ikomou*)

ILUTRASI 
Rencana demi rencara terus digulirkan oleh menajemen PT.FI dengan maksud merapok nasib buruh di area pertambangan tembagapura papua. Nasib karyawan terus bermasalah, bahkan ribuan karyawan terlantar. Imbas kekerasan dalam rumah tanggal hancur juga banyak yang putus asah bahkan meninggal dunia Karena nasibnya rampok tanpa mengharga sebagai manusia yang punya hak upahnya.

Menyakut nasib buruh, tertera pada Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dari pasal 1 s/d 5. Walapun secara dasar hukum menjadi bagi para pekerja namun terus bermasalah. Soal nasib buruh bukan hanya di Indonesia tetapi beberapa Negara maju pun mengalami nasib yang sama.

Untuk lebih adil, pada pengelolah sumber daya alam di Tembagapura Papua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengawasi secara online. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi berperang penting dalam hal mengawasi tentu saja berjalan sesuai dengan prosedul upah minimum yang berlaku.


Sejarah Buruh
Pada 1 Mei sebagai hari buruh internasional, atau lebih dikenal dengan May-May sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi Haymarket di Chicago Illinois Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1864.

Peristiwa haymaret sangat berkaitan dengan aksi mogor kerja yang sudah berlangsung  pada April 1864. Saat itu kemuakan kaum pekerja atas kelas borjois mencapai pucaknya. Sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.
Indonesia pada tahun 1920 juga mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei ini. Ibarruri Aidit (putri sulung D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.

Manajemen Rampok Hak Pekerja PT.FI
Dengan dicetuskannya peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Miniral Nomor 37 Tahun 2017 tentang perizinan bidang pertambangan dan Batu Bara. Juga lahirnya permen tersebut, berimbas pada nasib buruh di perusahan raksasa Amerika Serikat yang beroperasi di Gresbert itu.  Selain, dengan pernyataan Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo meminta 51 % saham PT. FI sera Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengakibat 3.340 Karyawan di rumahkan.

Terkait hal tersebut disikapi serius oleh Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) Republik Indonesia, Natalius Pigai, baru kali ini  dengan lancang saya mau kritik, bahwa Gubernur Papua tidak pandai menjaga perasaan rakyat perasaan karyawan, juga perasaan sebagian besar dari kaum terdidik dan aktivis kemanusiaan, termasuk perasaan perusahaan," katanya, dalam pesan elektronik yang diterima redaksi. (www.rmol.com)

Sementara itu, Organisasi buruh tambang internasional yang berhimpun dalam wadah IndustriALL Global Union menyikapi persoalan ketenagakerjaan yang terjadi di lingkungan PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.

Anggota Tim Advokasi Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport Tri Puspita di Timika, Sabtu, mengatakan menyikapi kisruh ketenagakerjaan di PT Freeport maka IndustriALL Global Union telah menyurati Presiden Joko Widodo di Jakarta dan pimpinan Freeport McMoRan Richard Adkerson di Amerika Serikat.

"IndustriALL Global Union telah menyurati Bapak Presiden Jokowi pada 24 Mei 2017 untuk meminta pemerintah Indonesia turun langsung menangani persoalan ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport Indonesia. Surat tersebut juga dikirimkan ke beberapa kementerian dan lembaga negara terkait.

Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan Pertambangan PT Freeport Indonesia menilai manajemen perusahaan itu telah melakukan tindakan menekan para pekerjanya yang sedang mogok kerja dengan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Hal ini sebenarnya sudah berulang-ulang mereka sampaikan. Hanya saja kami tidak mau menanggapi sampai ada kesepakatan yang nantinya ditandatangani bersama". Edisi: Kamis (18/5).

Yafet mengakui selama karyawan melakukan aksi mogok kerja bersama di Timika sejak 1 Mei lalu, pihak manajemen perusahaan melakukan berbagai upaya untuk menekan dan memengaruhi para pekerja agar menghentikan aksi tersebut dan bekerja kembali. "Mereka menggunakan segala macam cara untuk menekan kami," ujarnya.

Terhitung hingga 15 Mei 2017, manajemen PT Freeport telah mem-PHK sebanyak 840 orang karyawan yang terlibat aksi mogok kerja. Executive Vice President PT Freeport Bidang Human Resources Achmad Didi Ardianto menegaskan bahwa sebanyak 840 orang karyawan permanen PT Freeport tersebut dianggap mengundurkan diri secara sukarela lantaran tidak menghubungi perusahaan untuk mengonfirmasi kesempatan bekerja kembali.
Didi bahkan memprediksi jumlah karyawan yang akan mengalami konsekuensi serupa akan bertambah jika mereka mengabaikan anjuran perusahaan untuk melapor. 

Konsekuensi PHK bagi karyawan yang mangkir bekerja itu, kata dia, bukan merupakan tindakan sewenang-wenang oleh perusahaan. Namun, hal itu mengacu pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 27.10 Pedoman Hubungan Industrial dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.


Ia menegaskan bahwa karyawan yang mangkir selama lima hari berturut-turut tanpa alasan dan menolak bekerja kembali setelah menerima dua surat panggilan akan dianggap mengundurkan diri secara sukarela dari perusahaan. "Artinya, mereka tidak lagi menjadi karyawan PT Freeport Indonesia dan akan menerima pembayaran akhir. Kami ingin karyawan kami kembali. Akan tetapi, itu akan menjadi keputusan mereka sendiri. Apakah mereka ingin bergabung kembali atau meninggalkan perusahaan dan menghadapi masa depan yang tak pasti”.

Konflik masih lanjut, hingga terjadi Kekerasan Dalam rumah (KDRT) di Timika Papua meningkat saat ribuan karyawan di rumahkan. Dinamika ini sengaja diciptakan oleh pihak manajemen untuk merampok nasib pekerja. Dengan sejumlah anggaran yang dirampok tentu pihak manejemn menyuap pihak aparat untuk mengaman aksi buruh yang bermuara pada mengorbankan karyawan.

Dari tahun ke tahun , jika pekerja menggelar demo damai tentunya terjadi diskriminasi terhadap karyawan. Penegak hukum di Indonesia  dengan jelas melanggar Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ciptra hukum Indonesia sudah bikin rusak oleh para penegak hukum sendiri.

Perampokan sejumlah hak karyawan bisa gring secara Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Sebab, Ini bukti manajemen merugikan rakyat dan Negara.
Aparat Indonesia harus tahu malu, sebab kami dijadikan boneka oleh imperialism bertopeng kapitalis. Selain itu juga telah melanggar dasar Negara Indonesia Pasal 33 Undang-undang 1945. Manajemen semeng menang melakukan tindakan yang melanggar hukum namun penegak hukum malah melindungi. Dinamika ini tentu tak kunjung usai di Indonesia.

Melalui menajemen, ada sekelompok karyawan klaim diri pengurus PUK SPKEP SPSI memebentuk panitia musyarawara unit kerja luar biasa (Musbiklup) ke-II berupaya menjatukan kepengurusan yang ada.

Akan tetapi masa bhakti akan berakhir pada 2018. Jika digelar sesuai dengan prosedur pun pasti Aser Gobai, ST kembali memimpin. Dimana keseriusan beliau dalam menangani persoalan yang dihadapi karyawan secara tulus.

Sebagai bentuk penolakan MUSBIKLUP Ke-II maka kepengurusan yang ada menyurati ke sekelompok keryawan klaim diri pengurus dengan Nomor. ORG. 248/PC-SPKEP/KAB.MIMIKA/VIII/2017.

Sebab,pembentukan tersebut diluar prosedur AD/ART yang berlaku, sementara  Surat keputusn (SK)  No: SK.010/PP SPKEP/SPSI/IV/2017 akan berakhir pada tanggal 30 April 2018.
Sementara, Kerusuhan yang terjadi di lokasi perusahaan Freeport dipicu oleh pembubaran paksa massa karyawan yang melakukan mogok di ruas jalan utama PT Freeport yang menghubungkan Pelabuhan Amamapare-Timika-Tembagapura, dekat Check Point  pada 28, Sabtu (19/8/2017) lalu malam tersebut tidak dizinkan oleh pengurus PUK SPKEP SPSI Mimika tentang diluar dari intruksi pengurus.

Ini scenario oleh manajemen perusahan untuk menjatukan  kepengurusan yang berjalan. Selain itu, pihak kepolisian pun ikut mencampuri terkait permasalah tersebut. Aparat harus sadar, jangan ciptakan konflik yang tumpang tiding di Mimika Papua. Pihak keamanan harus professional menjalan fungsi tupoksi sesuai prosedur. “Jangan jadi anjing asing untuk jaga PT.Freeportd Indonesia .

Sejumlah rentetan konflik antara karyawan dan pihak manajemen terus tumbuh dewasa di tanah Amaungsa. Dinamika ini tentu saja terjadi, dimana daerah yang potensi sumber daya alam.
Tidak lama ini pihak pemerintah provinsi Papua minta 20% saham perusahan. Dengan diminta saham tersebut untuk kepentingan rakyat atau kepentingan manajemen dan pemerintah yang semata perkaya diri mereka ? Jika untuk perkaya manajemen dan pemerintah tanpa melihat nasib pemilik negeri , dimanakan keadilan pasal 33  Undang-undang 1945 yang dengan jelas berbunyi bahwa, Air, Tambang, dan Sumber Daya Alam untuk rakyat.

Kecolongan dalam penerapan undang-undang tersebut, pemerintah Indonesia memberikan peluan bagi kapitalis asing untuk mengerut sumber daya alam di Indonesia.

Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan pihak manajemen jangan korban nasib buruh yang punya hak hanya karena konflik di tingkat eksekutif. Sebagai manusia tentu merasakan nasib sama di mata Tuhan juga dimata hukum di Indonesia yang sebagai landasan Negara.

Konsfirasi yang selalu di mainkan oleh kelompok yang mengatasnamakan Negara, mestinya di reputasi sebelum hak-hak karyawan terancang. Agar keadialan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terlihat tanpa pandang ras, etnis, golongan dan kelompok.

Harapan saya, mengelolahan export dan impor tambang PT.FI harus dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar ada keseimbang dan pembayaran kepada karyawan sesuai upah yang berlaku di tingkat internasional. Pada hal tersebut, tidak terjadi kecurangan seperti sebelumnya.

Penulisan artikel ini, dilansir dari beberapa sumber

*Penulis adalah Jekson Ikomouw, Ketua GNPK-RI Provinsi Papua*







Rabu, 06 September 2017

Korupsi terhadap Sistem Politik di Papua

User Waktu Tag
Tidak ada komentar

*Oleh: Jekson Ikomou*)

Ketua GNPKRI Papua
Sejak dicutuskannya Undang-undang 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, frase “korupsi politik” dimunculkan seiring dengan didakwakannya Maikhel Kambuaya dan David Manibui yang notabene Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan pemegang saham mayoritas PT. Bintuni Energi Persada (BEP) . Korupsi politik ini pun tentu mendanai partai-partai politik dan/atau kegiatan politik praktis di Papua.

Secara etimologi kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti “kota” atau “negara kota”. Kata polismemiliki kata-kata turunan seperti polites yang berarti warga negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.

Politik didasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa, “Setiap polis atau negara adalah asosiasi. Politik dimaksudkan sebagai kumpulan manusia yang hidup teratur dan memilki tujuan yang sama dalam mencapai tujuannya, dipelajari oleh ilmu politik.

Objek dari politik yaitu manusia sebagai makhluk sosial dan sifat individual dari manusia itu sendiri. Sifat-sifat ingin menguasai, menonjolkan diri, mendapatkan pengakuan, dan ingin selamanya menjadi pemenang merupakan contoh sifat-sifat manusia sebagai insan politik. Sifat ini mendorong persaingan antarmanusia. Maka, tak salah pula bila kemudian politik didefinisikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Bakda reformasi, praktik korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola. Pada masa otonomi khusus, korupsi bisa dibilang tersentralisasi. Korupsi yang tersentralisasi ini tak terlepas dari pengelolaan kekuasaan yang juga tersentralisasi. Menurut Eep Saefulloh Fatah, pemerintah Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan tersebut bertujuan untuk menyokong stabilisasi ekonomi dan politik secara tepat.

Stabilisasi politik ini kemudian mengarah pada pembangunan ekonomi sebagai komando. Sayangnya, tujuan itu tercemar dengan praktik KKN yang merajalela. Lebih jauh, praktik KKN di zaman Otonomi khusus adalah relasi antara bisnis dan politik. Salah satu pendekatannya, menurut Andrew Macintyre, adalah bersifat patron-klien.

Dari hubungan tersebut, keuntungan dan kestimewaan diperoleh pebisnis sebagai klien dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan Otonomi khusus terkait ekonomi, perizinan, sumber daya alam, hanya menguntungkan segelintir pebisnis saja di Papua. Nah, menyejukkannya, sifat korupsi di zaman Otonomi khusus lebih banyak di dana-dana non-budgeter, bukan di APBN.

Belum lagi sejumlah perusahan di Papua yang beroperasi tanpa analisis dampak lingkungan juga izin usaha pertambangan. Diluar prosedur melakukan penambangan tersebut, pajak yang mestinya masuk ke kas Negara namun tak sesuai prosedur hukum di Indonesia.

Salah satu hal yang menandai era reformasi kemudian adalah demokratisasi dan desentralisasi. Demokratisasi memiliki tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Sedangkan desentralisasi memiliki tujuan utama untuk mencegah adanya kekuasaan yang tersentralisasi yang pada akhirnya akan korup seperti halnya ucapan Lord Acton, politics tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Nyatanya, niat mulia untuk mencegah agar korupsi tidak terjadi lagi seperti pada zaman Seoharto itu belum dapat terwujud. Desentralisasi justru membagi wilayah korupsi ke daerah-daerah dan demokratisasi menimbulkan biaya politik yang besar (seperti yang diungkapkan Gamawan Fauzi dalam disertasinya) yang pada akhirnya menjadi salah satu motif korupsi.

Sampai saat ini, ada lebih dari 325 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi, baik masih menjadi tersangka maupun sudah menjadi terpidana. Masalah utamanya adalah undang-undang mengenai keuangan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, saya mencatat kekuasaan seorang kepala daerah terhadap keuangan daerah yang begitu besarlah yang menjadi daya tarik seseorang ingin menjadi kepala daerah.

Tercatat, sejumlah anggota dewan, mantan menteri, hingga mantan Ketua MPR berlomba-lomba ingin menjadi kepala daerah. Keuangan Daerah menjadi rawan penyalahgunaan oleh Kepala Daerah seperti sebuah putusan MK atas kasus sengketa pilkada Sumatera Selatan yang lalu.

Dalam putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan Herman Deru itu, Alex Noerdin dinyatakan telah menyalahgunakan dana bansos (57) untuk kepentingan kampanye sehingga pilkada harus diulang di beberapa kabupaten.

Akun 57 ini memang menjadi dana paling politis terutama di daerah. Nah, anehnya, meski sudah menjadi putusan MK yang final dan mengikat, penyalahgunaan penyaluran dana itu tidak cukup menjadi dasar pidana bagi Alex Noerdin yang sampai kini masih menjabat sebagai Gubernur Sumatra Selatan.

Upaya untuk mencegah pola korupsi Otonomi khusus itu pun makin keteteran mana kala pola relasi bisnis dan politik pun terjadi di masa reformasi. Bahkan, pola korupsi di masa sebelumnya otsus  bisa dikatakan lebih parah karena dimulai dari hulunya, yakni dari informasi anggaran dimulai.

Isunya, informasi akan adanya proyek A atau proyek B pada tahun anggaran berikutnya sudah dijual ke rekanan agar ketika lelang dilakukan, rekanan A atau rekanan B akan mendapatkannya karena memanfaatkan informasi tersebut.

Istilah korupsi politik dalam awal tulisan ini pun akhirnya menjadi politik korupsi. Politik korupsi menjadi wacana aktual Papua dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat.

Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil.

1. Menguatnya Plutokrasi
Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.

Perusahaan-perusahaan besar ternyata juga ada hubungannya dengan partai-partai yang ada di kancah perpolitikan negeri ini, bahkan beberapa pengusaha besar menjadi ketua sebuah partai politik. Tak urung antara kepentingan partai dengan kepentingan perusahaan menjadi sangat ambigu.

Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai hajat hidup orang banyak, seperti bahan bakar dan energi, bahan makanan dasar dan olahan, transportasi, perumahan, keuangan dan perbankan, bahkan media massa pada saat ini setiap stasiun televisi dikuasai oleh oligarki tersebut. Kondisi ini membuat informasi yang disebarluaskan selalu mempunyai tendensi politik tertentu dan ini bisa memecah belah rakyat karena begitu biasnya informasi.

2. Biaya Politik yang Tinggi
Lingkaran setan ini akan terus berjalan dan berdampak pada kian meningkatnya biaya politik. Demokratisasi yang dijankan tanpa adanya pendidikan politik yang baik dari pemerintah kepada masyarakat atau pun dari para pelaku politik praktis akan menghasilkan penyelenggaraan demokrasi yang money politics. Suara-suara dapat diperjualbelikan dan suara-suara itu makin lama makin mahal.

3. Munculnya Pemimpin yang Korup
Adalah hukum rimba yang mengatakan masukan sebanding dengan keluaran. Kondisi politik yang carut marut dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak demokratis. Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat yang paling bawah sampai dengan pucuk pimpinan.
Konstituen didapatkan dan berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang dilakukan bersifat transaksional.

Masyarakat juga seolah-olah digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat sekaligus menerima suap dari calon pemimpin tersebut.

4. Fungsi Pemerintahan Mandul
Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:Pertama, Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi anggaran; Kedua, Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan asset; ketiga, Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.

Pemerintahan ayang kuasai dengan hasil politik uang (money politik) tentu akan pincang dalam menjalankan roda birokrasi di Papua. Di Tanah Papua terlihat hal demikian. Kepercayaan public terhadapa pemerintahan mulai berkurang.

5. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat kepada Lembaga Negara
Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Papua dan marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut hilang. Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di Papua. Mulai kasus Bupati Thomas Ondy, yang belum dihentikan walaupun sudah ditetapkan sebaga tersangka merugikan uang Negara Rp. 84 Milyard Rupiah.

Berita yang paling akhir adalah Kasus korupsi dana beasiswa mahasiswa Papua. Sedang dalam proses di bereskrip tipikor di mabes polri Jakarta.

Sungguh situasi yang paradoks, padahal seharusnya suatu sistem hukum diciptakan oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak mereka dapat dilindungi. Dengan demikian, pemerintah menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Sudah menjadi tugas dari lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakannya, bukan sebaliknya.

6. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi
Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Masyarakat akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah. Apatisme yang terjadi ini seakan memisahkan antara masyarakat dan pemerintah yang akan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Jika rakyat Papua menyatakan siap merdeka, wajar saja karena penegak hukum di Indonesia sedang melindung para koruptor. Sebenarnya, Hal ini benar-benar harus diatasi dengan kepemimpinan yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang dijalankan di Papua masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun menyimpan berbagai kerentanan.

Tersebarnya kekuasaan di tangan banyak orang ternyata telah dijadikan peluang bagi merajalelanya penyuapan. Reformasi yang dilakukan tanpa landasan hukum yang kuat justru melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan, yang dalam praktiknya melibatkan para broker bahkan menumbuhkan mafia.

Di Papua, jika rakyat papua menggelar aksi demo damai selalu dihadang aparat kepolisin tanpa menghargai hak demokrasi sebagai warga Negara. Penegak hukum di Indonesia telah melecehkan hak asasi manusia.

7. Hancurnya Kedaulatan Rakyat
Dengan semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan perusahaan besar. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun wakil rakyat yang terbentuk dari sistem politik yang rusak dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda atas kedaulatan tersebut.

Sebagai contoh, pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikelola oleh negara dan digunakan semestinya untuk kepentingan rakyat membuat asumsi kata dikelola berarti hal tersebut boleh diswastanisasi asal negara mendapat royaltinya. Sehingga dalam hal air mineral saja, rakyat harus membelinya dari swasta padahal air adalah barang publik yang semestinya lebih bisa dikelola dengan bijak oleh pemerintah. Bahkan, penerapan Undang-undang 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus di Papua belum maksimal memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat Papua.

Jika rakyat Papua minta penentuan nasib sendiri (Seft Determination), hal yang sangat wajar saja dan itu hak masyarakat Papua. Disebab, kucuran dana otsus tidak maksimal digunakan untuk kepentingan masyarakat. Hingga sekarang, rakyat Papua tidak percaya dengan kehadiran pemerintah Indonesia di Papua. Diplomasi perjungan penetuan nasib sendiri (Self Determination) sudah mendunia.

8. Masyarat Papua Belum Paham Arti Otsus
Pada penerapan Uandang-undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus di Papua. Menikmati kucuran dana adalah para penguasa. Masyarakat di jadikan objek kepentingan para penguasa di Papua. Masyarakat masih keliru dengan lahirnya otonomi khusus di Papua. Kepemimpinan terlalu “Nepotisme” mengabaikan nasib orang asli Papua secara khusus masyarakat yang seharusnya pelaku otonomi khusus di Papua itu.

Dinamika tersebut apakah diciptakan oleh penguasa di Jakarta atau pemerintah di Papua belum paham dalam aplikasi. Dari tahun ke tahun tak ada dampak positif bagi masyarkat di tanah Papua. Kesehatan di Papua belum mampu memberikan pelayanan layak bagi orang papua. Pendidikan, pada perekrutan beasiswa utusan daerah ke luar negeri masih terlalu nepotisme. Ekonomi masih dikuasai oleh non-Papua.

Penguasa di Papua, terlalu banyak propagandakan kinerja melalui media-media di Papua yang dibayar “Media Ampolop”  untuk beritakan kinerja birokrasi yang sesungguhnya tidak benar. Dari tahun ke tahun  pemerintah pusat hanya banyak berkoar tentang eksistensi sumber daya alam di Papua. Soal eksistensi hidup orang papua tidak sama sekali jadi “tren topic” di tingkat nasional.

Birokrasi berjalan tanpa pengawasan secara imparsial oleh pemerintah pusat. Buktinya uang otonomi khusus di Papua di korupsi dengan sesukanya. Dengan belum mampunya pengawasan pejabat papua seenaknya kerut habis. Masyarakat menderita diatas tikar emas di tanah Papua.

Pemerintah pusat melalui DPR RI harus bentuk pansus untuk klarifikasi dana otonomi khusus di papua. Dari sejak undang-undang otonomi khusus dicetuskan di tanah Papua. Indes pembangunan manusia menjadi dasar utama keterlambatan pembangunan di Papua. Jika dana otsus digunakan secara maksimal tentu meningkatkan pembangunan sumber daya manusia dengan sumber dana otonomi khusus di Papua.


"Penulis adalah Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) Provinsi Papua*


SEDANG MENULIS BUKU, TENTANG ; POLITIK KORUPSI DI PAPUA