*Oleh: Jekson Ikomou*)
![]() |
ILUTRASI |
Menyakut nasib buruh, tertera pada Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, dari pasal 1 s/d 5. Walapun secara dasar hukum menjadi bagi
para pekerja namun terus bermasalah. Soal nasib buruh bukan hanya di Indonesia
tetapi beberapa Negara maju pun mengalami nasib yang sama.
Untuk lebih adil, pada pengelolah sumber daya alam di Tembagapura Papua,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengawasi secara online. Jika Komisi
Pemberantasan Korupsi berperang penting dalam hal mengawasi tentu saja berjalan
sesuai dengan prosedul upah minimum yang berlaku.
Sejarah Buruh
Pada 1 Mei sebagai hari buruh internasional, atau lebih dikenal dengan
May-May sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi Haymarket di Chicago
Illinois Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1864.
Peristiwa haymaret sangat berkaitan dengan aksi mogor kerja yang sudah
berlangsung pada April 1864. Saat itu
kemuakan kaum pekerja atas kelas borjois mencapai pucaknya. Sekitar 400.000
buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut
pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama
4 hari sejak tanggal 1 Mei.
Pada tanggal 4 Mei 1886.
Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika
kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan
para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal
dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga
terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil
dari para pemilik modal.
Indonesia pada tahun 1920 juga
mulai memperingati hari Buruh tanggal 1 Mei ini. Ibarruri Aidit (putri sulung
D.N. Aidit) sewaktu kecil bersama ibunya pernah menghadiri peringatan Hari
Buruh Internasional di Uni Sovyet, sesudah dewasa menghadiri pula peringatan
Hari Buruh Internasional 1 Mei 1970 di Lapangan Tian An Men RRC pada peringatan
tersebut menurut dia hadir juga Mao Zedong, Pangeran Sihanouk dengan istrinya
Ratu Monique, Perdana Menteri Kamboja Pennut, Lin Biao (orang kedua Partai
Komunis Tiongkok) dan pemimpin Partai Komunis Birma Thaksin B Tan Tein.
Manajemen Rampok Hak
Pekerja PT.FI
Dengan dicetuskannya peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Miniral
Nomor 37 Tahun 2017 tentang perizinan bidang pertambangan dan Batu Bara. Juga lahirnya
permen tersebut, berimbas pada nasib buruh di perusahan raksasa Amerika Serikat
yang beroperasi di Gresbert itu. Selain,
dengan pernyataan Presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo meminta 51 % saham PT. FI
sera Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mengakibat 3.340 Karyawan di
rumahkan.
Terkait hal tersebut disikapi serius oleh Komisioner Komisi Hak Asasi
Manusia (KOMNASHAM) Republik Indonesia, Natalius Pigai, baru kali ini dengan lancang saya mau kritik, bahwa
Gubernur Papua tidak pandai menjaga perasaan rakyat perasaan karyawan,
juga perasaan sebagian besar dari kaum terdidik dan aktivis kemanusiaan,
termasuk perasaan perusahaan," katanya, dalam pesan elektronik yang
diterima redaksi. (www.rmol.com)
Sementara itu, Organisasi
buruh tambang internasional yang berhimpun dalam wadah IndustriALL Global Union
menyikapi persoalan ketenagakerjaan yang terjadi di lingkungan PT Freeport
Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Anggota Tim Advokasi Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja
Kimia, Energi dan Pertambangan (PUK SP-KEP) SPSI PT Freeport Tri Puspita di
Timika, Sabtu, mengatakan menyikapi kisruh ketenagakerjaan di PT Freeport maka
IndustriALL Global Union telah menyurati Presiden Joko Widodo di Jakarta dan
pimpinan Freeport McMoRan Richard Adkerson di Amerika Serikat.
"IndustriALL Global Union telah menyurati Bapak
Presiden Jokowi pada 24 Mei 2017 untuk meminta pemerintah Indonesia turun
langsung menangani persoalan ketenagakerjaan di lingkungan PT Freeport
Indonesia. Surat tersebut juga dikirimkan ke beberapa kementerian dan lembaga
negara terkait.
Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Kimia, Energi, dan
Pertambangan PT Freeport Indonesia menilai manajemen perusahaan itu telah
melakukan tindakan menekan para pekerjanya yang sedang mogok kerja dengan
ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Hal ini sebenarnya sudah berulang-ulang mereka
sampaikan. Hanya saja kami tidak mau menanggapi sampai ada kesepakatan yang nantinya
ditandatangani bersama". Edisi: Kamis (18/5).
Yafet mengakui selama karyawan melakukan aksi mogok kerja
bersama di Timika sejak 1 Mei lalu, pihak manajemen perusahaan melakukan
berbagai upaya untuk menekan dan memengaruhi para pekerja agar menghentikan
aksi tersebut dan bekerja kembali. "Mereka menggunakan segala macam cara
untuk menekan kami," ujarnya.
Terhitung hingga 15 Mei 2017, manajemen PT Freeport telah
mem-PHK sebanyak 840 orang karyawan yang terlibat aksi mogok kerja. Executive
Vice President PT Freeport Bidang Human Resources Achmad Didi Ardianto
menegaskan bahwa sebanyak 840 orang karyawan permanen PT Freeport tersebut
dianggap mengundurkan diri secara sukarela lantaran tidak menghubungi
perusahaan untuk mengonfirmasi kesempatan bekerja kembali.
Didi bahkan memprediksi jumlah karyawan yang akan
mengalami konsekuensi serupa akan bertambah jika mereka mengabaikan anjuran
perusahaan untuk melapor.
Konsekuensi PHK bagi karyawan yang mangkir bekerja itu, kata dia, bukan merupakan tindakan sewenang-wenang oleh perusahaan. Namun, hal itu mengacu pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 27.10 Pedoman Hubungan Industrial dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Konsekuensi PHK bagi karyawan yang mangkir bekerja itu, kata dia, bukan merupakan tindakan sewenang-wenang oleh perusahaan. Namun, hal itu mengacu pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 27.10 Pedoman Hubungan Industrial dan sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Ia menegaskan bahwa karyawan yang mangkir selama lima hari
berturut-turut tanpa alasan dan menolak bekerja kembali setelah menerima dua
surat panggilan akan dianggap mengundurkan diri secara sukarela dari
perusahaan. "Artinya, mereka tidak lagi menjadi karyawan PT Freeport
Indonesia dan akan menerima pembayaran akhir. Kami ingin karyawan kami kembali.
Akan tetapi, itu akan menjadi keputusan mereka sendiri. Apakah mereka ingin
bergabung kembali atau meninggalkan perusahaan dan menghadapi masa depan yang
tak pasti”.
Konflik masih lanjut, hingga terjadi Kekerasan Dalam
rumah (KDRT) di Timika Papua meningkat saat ribuan karyawan di rumahkan.
Dinamika ini sengaja diciptakan oleh pihak manajemen untuk merampok nasib
pekerja. Dengan sejumlah anggaran yang dirampok tentu pihak manejemn menyuap
pihak aparat untuk mengaman aksi buruh yang bermuara pada mengorbankan
karyawan.
Dari tahun ke tahun , jika pekerja menggelar demo damai
tentunya terjadi diskriminasi terhadap karyawan. Penegak hukum di
Indonesia dengan jelas melanggar
Undang-undang 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ciptra hukum Indonesia
sudah bikin rusak oleh para penegak hukum sendiri.
Perampokan sejumlah hak karyawan bisa gring secara
Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. Sebab, Ini bukti
manajemen merugikan rakyat dan Negara.
Aparat Indonesia harus tahu malu, sebab kami dijadikan
boneka oleh imperialism bertopeng kapitalis. Selain itu juga telah melanggar
dasar Negara Indonesia Pasal 33 Undang-undang 1945. Manajemen semeng menang
melakukan tindakan yang melanggar hukum namun penegak hukum malah melindungi.
Dinamika ini tentu tak kunjung usai di Indonesia.
Melalui menajemen, ada sekelompok karyawan klaim diri
pengurus PUK SPKEP SPSI memebentuk panitia musyarawara unit kerja luar biasa
(Musbiklup) ke-II berupaya menjatukan kepengurusan yang ada.
Akan tetapi masa bhakti akan berakhir pada 2018. Jika
digelar sesuai dengan prosedur pun pasti Aser Gobai, ST kembali memimpin.
Dimana keseriusan beliau dalam menangani persoalan yang dihadapi karyawan
secara tulus.
Sebagai bentuk penolakan MUSBIKLUP Ke-II maka
kepengurusan yang ada menyurati ke sekelompok keryawan klaim diri pengurus
dengan Nomor. ORG. 248/PC-SPKEP/KAB.MIMIKA/VIII/2017.
Sebab,pembentukan tersebut diluar prosedur AD/ART yang
berlaku, sementara Surat keputusn
(SK) No: SK.010/PP SPKEP/SPSI/IV/2017
akan berakhir pada tanggal 30 April 2018.
Sementara, Kerusuhan yang terjadi di lokasi
perusahaan Freeport dipicu oleh pembubaran paksa massa karyawan yang
melakukan mogok di ruas jalan utama PT Freeport yang menghubungkan Pelabuhan
Amamapare-Timika-Tembagapura, dekat Check Point pada 28, Sabtu (19/8/2017) lalu malam tersebut
tidak dizinkan oleh pengurus PUK SPKEP SPSI Mimika tentang diluar dari intruksi
pengurus.
Ini scenario oleh manajemen perusahan untuk
menjatukan kepengurusan yang berjalan.
Selain itu, pihak kepolisian pun ikut mencampuri terkait permasalah tersebut.
Aparat harus sadar, jangan ciptakan konflik yang tumpang tiding di Mimika
Papua. Pihak keamanan harus professional menjalan fungsi tupoksi sesuai
prosedur. “Jangan jadi anjing asing untuk jaga PT.Freeportd Indonesia .
Sejumlah rentetan konflik antara karyawan dan pihak
manajemen terus tumbuh dewasa di tanah Amaungsa. Dinamika ini tentu saja
terjadi, dimana daerah yang potensi sumber daya alam.
Tidak lama ini pihak pemerintah provinsi Papua minta 20%
saham perusahan. Dengan diminta saham tersebut untuk kepentingan rakyat atau
kepentingan manajemen dan pemerintah yang semata perkaya diri mereka ? Jika untuk
perkaya manajemen dan pemerintah tanpa melihat nasib pemilik negeri , dimanakan
keadilan pasal 33 Undang-undang 1945
yang dengan jelas berbunyi bahwa, Air, Tambang, dan Sumber Daya Alam untuk
rakyat.
Kecolongan dalam penerapan undang-undang tersebut, pemerintah
Indonesia memberikan peluan bagi kapitalis asing untuk mengerut sumber daya
alam di Indonesia.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan
pihak manajemen jangan korban nasib buruh yang punya hak hanya karena konflik
di tingkat eksekutif. Sebagai manusia tentu merasakan nasib sama di mata Tuhan
juga dimata hukum di Indonesia yang sebagai landasan Negara.
Konsfirasi yang selalu di mainkan oleh kelompok yang
mengatasnamakan Negara, mestinya di reputasi sebelum hak-hak karyawan
terancang. Agar keadialan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat terlihat tanpa
pandang ras, etnis, golongan dan kelompok.
Harapan saya, mengelolahan export dan impor tambang PT.FI
harus dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar ada keseimbang
dan pembayaran kepada karyawan sesuai upah yang berlaku di tingkat
internasional. Pada hal tersebut, tidak terjadi kecurangan seperti sebelumnya.
Penulisan artikel ini, dilansir dari beberapa sumber
*Penulis adalah Jekson
Ikomouw, Ketua GNPK-RI Provinsi Papua*